Selasa, 19 Juli 2016

09.16 - No comments

Petugas Upacara


Selamat malam! Ya, sebelum saya mulai disibukkan dengan kegiatan-kegiatan khas anak kelas 12 yang mulai njlemit. Izinkan saya untuk berbagi sebuah cerita yang mungkin akan jadi cerita terakhir saya di bulan ini, atau mungkin di triwulan ini? Entah saya juga tidak tahu. Nah jadi di postingan kali ini, saya ingin bercerita tentang pengalaman menjadi petugas upacara. Mulai dari masih SD sampai sekarang SMA. 

Jadi petugas upacara waktu SD itu pengalaman berharga banget. Kenapa? Karena semua guru dan teman-teman di sekolahmu jadi tahu kamu! Hahaha. Jadi waktu itu kalau tidak salah kelas 4, kelas saya kebagian jatah untuk jadi petugas upacara. Nah yang nentuin anak kelas tugasnya ngapain itu wali kelasnya. Dan saya kebagian untuk jadi pemimpin upacara. Waktu itu kalau jadi petugas upacara namanya bisa dilihat di lobby SD, sehingga semua siswa yang lalu lalang di lobby bisa melihat siapa yang jadi petugas upacara di hari Senin depan. Maka dari itu selain bisa lihat di hari H, siswa lain juga bisa tahu siapa yang jadi petugas dari papan itu hahaha. Upacara pertama sebagai petugas berjalan lancar dan tidak ada kurang suatu apapun. Hamdalah. Next, saat SMP!

Nah kalau di SMP semua petugas upacara itu dari kelas 9, tidak tahu kalau sekarang bagaimana. Jadi pertama kali saya bertugas jadi petugas di SMP ya waktu kelas 9. Waktu itu saya jadi pengibar bendera untuk pertama kalinya, dan partner saya waktu itu adalah Ardimas dan Ramzi. Latihan buat upacara juga hanya dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu hari Jumat dan Senin pagi-pagi sekali. Karena kami bertiga sama-sama belum pernah jadi pengibar bendera akhirnya kami dilatih oleh kelas 11 SMAIT. Karena mepetnya waktu, latihannya pun hanya berlangsung 1 jam dan dilatih langkah tegap dan cara pengibaran. Hamdalah pengibaran di hari senin berhasil dan karena itu kalau ada upacara lagi kami bertiga selalu ditanya mau jadi pengibar lagi tidak oleh guru waktu itu hahaha. Next, saat SMA.

Di SMA ada pahit manisnya jadi petugas. Kalau pahit ya pahit banget. Kalau manis ya manis banget. Nah disini saya akan membagikan pegalaman yang manis saja. Pahitnya udah lupakan hahaha. Bisa jadi Paskibraka Kabupaten, ngibarin di Alun-Alun (meskipun cuma pakai bendera latihan), nurunin bendera di Alun-Alun (kalau ini pakai bendera merah putih), ikut lomba tub (meskipun cuma dapet peringkat 3), sampai dipercaya menjadi pengibar saat upacara HUT sekolah dan kemarin upacara pembukaan Pengenalan Lingkungan Sekolah. Khusus di upacara PPLS kemarin, itu merupakan terakhir kalinya saya bertugas sebagai petugas upacara. Dan kemarin sangat berkesan karena inspektur upacaranya adalah Bapak Bupati dan pesertanya sampa 3000an siswa baru di Purwokerto. 

Berakhir sudah kewajiban saya sebagai petugas upacara. Entah jadi apapun kamu saat upacara, khidmatlah. Toh kamu cuma berdiri, bukan dengan berperang melawan musuh untuk mempertahankan NKRI. Hormati jasa mereka yang sudah rela berkorban untuk Merah Putih dengan khidmat mengikuti upacara. Dan untuk kamu yang akan bertugas, lakukan tugasmu dengan baik, jangan buang kepercayaan orang yang sudah mempercayaimu sebagai petugas. 

Regards,
Dzia


Kamis, 07 Juli 2016

05.58 - 1 comment

Fitrah



“Tidaklah setiap anak yang lahir kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Seperti hewan melahirkan anaknya yang sempurna, apakah kalian melihat darinya buntung (pada telinga)?”

Hadits diriwayatkan oleh Al-Imam Malik dalam Al-Muwaththa` (no. 507); Al-Imam Ahmad  dalam Musnad-nya (no. 8739); Al-Imam Al-Bukhari dalam Kitabul Jana`iz (no. 1358, 1359, 1385), Kitabut Tafsir (no. 4775), Kitabul Qadar (no. 6599); Al-Imam Muslim  dalam Kitabul Qadar (no. 2658).

Jika kita melihat hadits diatas, makna fitrah bukan hanya berkaitan dengan dosa, namun berkaitan dengan akidah. “menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi” artinya ini adalah perubahan akidah dari akidah asal (fitrah) dan apalagi jika bukan akidah Islam yang lurus. Setiap bayi itu dilahirkan dengan akidah yang lurus, namun diubah oleh orang tuanya menjadi Nasrani, Yahudi, dan Majusi. Anda kembali seperti bayi, artinya kembali memiliki akidah yang lurus.

Memang benar kita sudah ditempa satu bulan penuh, tapi apa artinya kalau setelah Ramadhan perilaku kita tidak lebih baik dari sebelumnya? Bukankah terlalu munafik jika kita menyebut diri kita sudah kembali fitrah? Padahal belum tentu kita sudah kembali fitrah. Memang anda tahu amal kita diterima atau tidak? Perlu diketahui bahwasanya Ramadhan itu tidak menggugurkan dosa besar. Coba lihat hadist dibawah ini:

“Antara shalat 5 waktu, jumatan ke jumatan berikutnya, ramadhan hingga ramadhan berikutnya, akan menjadi kaffarah dosa yang dilakukan diantara amal ibadah itu, selama dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Ahmad 9197 dan Muslim 233).

Disitu tertulis "selama dosa-dosa besar dijauhi." Adanya syarat tersebut menunjukkan bahwa amal-amal perbuatan yang disebutkan tadi ternyata tidak cukup untuk menggugurkan dosa besar dengan sendirinya. Yang bisa digugurkan hanya dosa-dosa kecil. Bukankah terlalu hina jika kita menyebut diri kita sudah kembali ke fitrah?

Baru saja saya melihat banyak anak-anak remaja duduk-duduk di pelataran masjid. Tapi apa yang mereka lakukan ketika adzan sudah berkumandang? Mereka menghiraukannya, padahal hari itu baru H+1 lebaran! Mindset Fitrah memang seharusnya dihilangkan. Karena secara tidak langsung juga membuat manusia lupa diri. Mentang-mentang (katanya) sudah digugurkan dosa-dosanya, berbuat sesukanya. Apakah manusia harus ditimpa musibah terlebih dahulu agar ingat pada Yang Maha Pencipta? 

Wallahu A'lam Bish-Shawab.